Jumat, 07 Desember 2007


    Seseorang dikatakan dewasa bukan karena dia telah mencapai umur 
tertentu. Terkadang, ada orang yang umurnya sudah tua tapi ada yang mengatakan
perilakunya masih kekanak-kanakan. Ada juga, seseorang yang
tergolong masih muda, tapi ada juga yang mengatakan dia itu seorang yang dewasa.
Fenomena keseharian ini memperlihatkan bahwa umur tidak memberikan jaminan
seseorang itu mampu mencapai kedewasaan. Lantas, kedewasaan itu apa sih..?.
Kedewasaan itu sangat terkait dengan urusan mentalitas
(psikologis). Cara
yang paling mudah untuk mengukur kedewasaan adalah ketika seseorang
itu dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang ada. Nanti, saya
akan memaparkan sebuah kisah kehidupan seseorang yang begitu tegar
menghadapi masalah. Kisah itu, bagi saya sangat mengharukan, saya sempat
menitikkan air mata mengetahui cerita itu. Entah, saya barangkali tak sanggup
bertahan ketika menghadapi masalah yang sama seperti yang dialami seseorang
itu. Darikisahnya, saya hanya ingin mengajak untuk mencoba jujur terhadap
diri kita masing-masing. Apakah kita sudah dewasa ataukah belum..? Mengenai
cerita itu, sabar ya, tunggu saja nanti !
Kita lanjutkan dulu uraian tentang topik "masalah". Dalam
mengarungi samudera kehidupan ini, kita pasti dihadapkan kepada sebuah masalah.
Itulah dinamika yang membuat hidup menjadi bermakna. Rasa-rasanya, hidup
ini akan terasa gersang jika tak ada dinamika kehidupan, hidup hanya monoton,
tak ada pernak-perniknya, sungguh, hidup ini tak terasa indah. Tapi,
permasalahannya kemudian, sejauhmana kita bisa memandang sebuah masalah dengan cara
pandang yang berbeda, sebuah cara pandang menggunakan kejernihan berpikir
kita. Kita semua tahu, permasalahan akan senantiasa ada, yang terpenting adalah
bagaimana kita bersikap ketika menghadapi masalah tersebut. Disinilah sebuah
kedewasaan akan terlihat.
Akankah kita hanya sekedar mengeluh mensikapi masalah yang kita
hadapi,menyalahkan orang lain sebagai biang masalah dan bahkan menganggap
Allah SWT tidak adil karena menimpakan masalah yang barangkali terlalu berat, atau
kita akan bersikap sebaliknya. Kita mensikapi sebuah masalah dengan tenang,
tidak emosional lantas pelan-pelan memikirkan jalan keluar yang tepat.
Bagaimana menurutmu, kira-kira akan memilih yang mana...?
Baik, sambil merenung, saya akan memenuhi janji.

Seperti yang saya janjikan diawal tadi, saya akan bercerita
tentang sebuah kisah nyata. Kisah ini pernah saya baca di dalam sebuah
majalah Islam. Sudah cukup lama saya membacanya, sampai-sampai majalah itu
entah kemana. Tapi, memori saya masih terus mengingat kisah itu. Kisahnya
adalah tentang seorang pemuda yang sederhana, dia seorang mahasiswa. Suatu
ketika, dia sedang kekurangan uang. Dia pernah tidak makan nasi selama 24 hari
karena uangnya tidak cukup untuk membeli nya. Barangkali ada yang bertanya,
bagaimana dia bisa bertahan hidup...?.
Setiap hari, dia hanya menganggarkan uang seribu rupiah untuk bisa
menganjal perutnya dari rasa lapar. Setiap pagi, dia membeli
sepotong roti seharga limaratus rupiah untuk bisa bertahan dari rasa lapar di siang
harinya. Begitu juga, ketika sore tiba, dia melakukan hal yang sama,
membeli lagi sepotong roti seharga lima ratus rupiah untuk bisa bertahan
dari rasa laparnya sampai esok pagi tiba. Begitu seterusnya, sampai 24 hari
lamanya. Sungguh, kisah ini sangat mengharukan. Saya sempat menitikkan ari
mata ketika membacanya. Luar biasa, dia tak mengeluh dengan keadaan yang
menimpa dirinya.
Dia tak mau meminjam uang karena dia tak mau merepotkan temannya.
Justru,
dengan keadaan seperti itu, tak menyurutkan langkahnya untuk bisa
berprestasi. Itu terbukti ketika dia terpilih menjadi salah satu
remaja berprestasi versi salah satu majalah Islam di negeri ini. Dan,
kisahnya ini diungkapkan dalam sebuah wawancara dengan majalah Islam itu.
Ada satu lagi cerita menarik darinya. Ketika akan diundang dalam
acara penganugerahan hadiah, terpaksa dia meminjam baju salah seorang
temannya karena memang dia benar-benar tidak mempunyai baju yang layak untuk
menghadiri sebuah acara yang boleh dibilang resmi. Subhanallah.
Cerita ini bisa menjadi renungan bagi kita. Terkadang, kita terlalu

banyak mengeluh atas keadaan yang kita alami, sementara kalau kita
menghitung nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, sungguh, tak akan bisa
terhitung banyaknya. Tapi, biasanya, kita terus merasa kurang dan
kurang. Seolah kita lupa atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada
kita. Laki-laki sederhana itu bisa kita jadikan contoh, bagaimana dia
senantiasa tersenyum walau dalam keadaan yang sederhana, bahkan boleh dibilang
kekurangan.
Baginya, keadaan yang seperti itu tak terlalu menjadi masalah.
Setidaknya, dia tidak menganggap kebahagiaan semata-mata karena banyaknya harta
yang dimiliki. Lelaki itu, semoga menjadi pelajaran kita dan kelak,
semoga Allah memasukannya kedalam surgaNya. Darinya, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa
kedewasaan itu adalah, bagaimana kita bisa mengatasi permasalahan
dengan bijaksana. Sekarang, mari sama-sama kita jujur pada diri kita sendiri, sudah
dewasakah kita...?.